Saat SMA, kedua orangtuaku mendaftarkan aku ke dalam suatu sekolah ber-asrama di daerah Semarang, Jawa Tengah. Entah apa alasan mereka melakukan hal ini. Tapi aku yakin, apapun keinginan mereka, pasti itu baik untuk hidupku. Yeah, i know that. Dan, ternyata mereka tidak salah. Aku punya banyak kisah perjalanan di sini, aku punya banyak kehidupan dan pengalaman baru disini. Sama seperti anak remaja pada umumnya, aku pun memasuki tahap pacaran. Dan disinilah, aku belajar menghargai suatu hubungan. Belajar menahan ego untuk perasaan dan kepentingan sendiri. Belajar untuk berbesar hati ketika suatu hubungan itu berakhir, dan menjadi seperti yang tidak kita inginkan. Selain itu pula, asrama mengajarkan aku untuk lebih mengatur diriku sendiri. Karena disini, kami dituntut untuk lebih mandiri dan disiplin di bawah pengawasan suster kepala asrama. Asrama pula lah yang mengajari aku untuk lebih menghargai hidup bersama dengan orang lain. Bagaimana kami harus tetap berbagi untuk teman-teman asrama dan bagaimana kami harus tetap menjaga toleransi. Menikmati tawa bahagia di kala senang, juga menikmati tangis di kala rindu kepada keluarga. Setiap hari bahkan setiap detik selalu aku lalui bersama dengan teman asrama, hingga kami merasa seperti saudara. Terimakasih kepada kedua orangtuaku, tanpa kalian, mungkin aku tidak pernah bisa menikmati indahnya kehidupan di asrama ini. Terimakasih Tuhan, atas kesempatan berharga yang tak ternilai ini.
Ketika Lulus dari SMA, aku dan teman-teman memulai dunia baru kami dengan tangis bahagia. Ya, Kami bahagia telah berhasil melewati masa-masa perjuangan berat di asrama. You know, it's not easy if we fight for the parents and they are far away from us. Dan kami melanjutkan kuliah sesuai minat kami masing-masing. Beberapa dari kami memilih untuk kembali ke daerah asal masing-masing untuk melanjutkan kuliah. Sama seperti aku, dan aku memilih untuk melanjutkan kuliah di sebuah universitas swasta di daerah Jakarta. Di dunia perkuliahan ini pula lah, aku menemukan dunia baru lagi. Menemukan teman-teman baru. Aku begitu menikmati dunia baru ku ini. Aku benar-benar excited menjalani nya. Dan bahagia bukan main, ketika menerima hasil IPK telah mencapai angka 3. Hingga ketika memasuki semester 3, aku memilih untuk kuliah sambil bekerja. Hal ini di karenakan, ayah ku yang seorang Pegawai Swasta sebuah perusahaan teknologi informatika telah memasuki masa pensiun nya. Umur nya yang sudah mulai tua, membuat aku harus berpikir ulang mengenai tawaran kerja yang di berikan oleh kerabat dekat saat itu. Dan di saat yang sama, ke dua adikku masih harus melanjutkan pendidikan nya di jenjang SMA dan SMP. Aku masih ingin kuliah, namun aku juga mengerti, bahwa kedua adikku juga lebih membutuhkan pendidikan. Dan, Bapak ku baru saja menjadi seorang pensiunan sedangkan ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Hal ini lah yang membuat ku memulai dunia baru lagi, kuliah sambil bekerja.
Di saat yang sama saat itu, aku sebenarnya mengalami pergumulan yang begitu hebat. Bagaimana tidak, aku melihat teman-temanku begitu menikmati masa-masa kuliahnya dengan sangat indah. Mengerjakan tugas bersama, Ngumpul bareng saat tak ada kelas atau ketika menunggu kelas dimulai, Makan siang bersama, Atau bahkan menonton film di bioskop ketika waktu pulang kuliah. Sedangkan aku? Harus bersusah payah membagi waktu pagi untuk bekerja, dan siang hingga malam aku kuliah. Berjuang harus naik angkot dan menikmati panas terik matahari siang. Lelah kah? Iya, sangat lelah. Tapi, ini lah hidup. Biar bagaimanapun, harus tetap di nikmati.
Keadaan yang mengharuskan aku menjalani hal-hal itu, terlebih sebagai anak paling tua, menuntut ku untuk tidak bersikap egois. Namun, karena begitu sedikit nya waktu luang yang aku milikki, aku hampir tidak pernah berkumpul bersama keluarga lagi setiap hari nya. Selain karena rasa lelah ketika sudah sampai di rumah, aku memang menggunakan waktu senggang ku untuk membuat tugas atau melakukan hobi ku untuk membaca buku. Namun, tetap aku selalu berusaha menjaga komunikasi bersama keluarga. Walau hanya sebuah sapaan di pagi hari, atau malam ketika aku sudah kembali ke rumah lagi.
Bapak ku yang seorang pensiunan, kini beralih tugas untuk mengantarkan adik-adikku berangkat sekolah. Hal ini telah kami sepakati bersama, dengan maksud untuk mengirit pengeluaran. Karena biaya ongkos perjalanan mereka bisa kami gunakan untuk hal lain. Bahkan untuk uang jajan pun, kami berusaha irit, karena ibu telah membiasakan kami untuk membawa bekal ke sekolah. Karena kebutuhan hidup pula, kami harus merelakan mobil satu-satunya itu kami jual. Adik ku yang paling kecil menangis ketika serah terima mobil dengan pembeli yang baru telah di sepakati dan mobil itu di bawa pergi. Tak apa, kata Bapak. Yang penting hidup kita tetap berkecukupan. Apalah arti sebuah mobil, kalau itu tidak bisa kita bawa pada saat mati nanti. Bapak pula yang mengajarkan kami untuk tetap menghargai apapun yang kita miliki, tak hanya dilihat dari segi materi. Dengan bekal uang tabungan Bapak yang semakin menipis, dan sedikit penghasilan ku, kami tetap menikmati hidup. Hingga adikku yang kedua lulus SMA, adikku memilih untuk bekerja. Supaya tetap bisa membantu kehidupan kami semua. Puji Tuhan, kami tetap mendapatkan berkat yang terus mengalir. Dan, Ibu ku yang hanya seorang ibu rumah tangga, pun akhirnya membuka usaha dengan berjualan gado-gado di belakang warung. Dari sana pula, kami bisa menikmati sesuap nasi. Terimakasih Tuhan, untuk kedua orangtua ku, terimakasih untuk kesederhanaan yang telah kau ajarkan ke dalam kehidupan kami.
Sekalipun aku tidak terlalu dekat dengan kedua orangtua ku, aku selalu menghormati mereka. Walaupun aku tidak pernah meluangkan waktu untuk banyak bercerita tentang kegalauan hati, atau sukacita yang begitu besar. Aku begitu mencintai kedua orangtua ku, hingga aku mempunyai cita-cita untuk membawa mereka pergi ziarah ke Lourdes, Paris suatu saat nanti. Namun, rencana indah tetaplah milik manusia. Tuhan yang akan menentukan pada akhirnya.
Bapak menderita penyakit liver, pembengkakan empedu juga ada sedikit tumor di paru-paru nya. Hal ini kami ketahui setelah seluruh tubuh Bapak berubah warna menjadi kuning, dan kondisi kesehatan Bapak menurun drastis. Namun Bapak masih tetap semangat menjalani hidup. Semua hal masih ingin ia kerjakan sendiri, seperti untuk makan atau pergi ke kamar mandi. Hingga pada akhirnya ia hanya mampu terbaring di atas tempat tidur. Di saat-saat sakit nya ini, aku masih sempat menemani Bapak ketika malam setelah pulang ke rumah. Sekedar untuk ngobrol, atau membaca buku di samping nya, atau membantu ia jika ingin buang air. Memang, terkadang aku beralasan ingin ke kamar mandi jika ternyata air mata mengalir di pipiku, melihat Bapak yang berbaring di atas tempat tidur. Aku sungguh tidak tega melihat nya menderita seperti ini. Aku memang tak tahu seberapa sakit yang di rasakannya, karena setiap aku bertanya, apakah sakit, ia selalu berusaha tersenyum, dan berkata, tidak ada yang sakit kok..
Pagi itu ketika aku sudah memulai pekerjaanku seperti biasa, ibu menelepon ku dan menangis. Ia meminta aku untuk cepat kembali ke rumah untuk melihat keadaan Bapak. Aku segera ijin dari pekerjaan ku, dan segera pulang ke rumah. Dan, sesampainya dirumah, aku melihat ibuku sedang menangis di samping Bapak. Juga ada adikku disana. Bapak terbaring lemah memandangku. Kupegang tangan Bapak, dingin sekali. Aku hanya mampu membantu membacakan doa Pengampunan, aku bantu Bapak untuk mendoakan mereka yang membenci Bapak, memaafkan dan mengampuni mereka. Hingga pada akhirnya, Bapak menghembuskan nafas terakhirnya di tengah-tengah kami. Hatiku sakit melihatnya, tapi aku tahu, inilah jalan kehidupan Bapak yang baru.
Dari Bapak, aku tahu rasanya hidup untuk tetap mencintai apapun yang kita milikki. Walau memang itu tidak sesuai dengan kehendak kita. Namun, jika kita tidak bisa memiliki apa yang kita cintai, cintailah apa yang kita milikki saat ini. Dari Bapak, aku tahu bagaimana berkorban untuk orang-orang yang kita cintai. Bagaimana seorang Bapak harus tetap banyak berkorban untuk istri dan anak-anaknya, sekalipun ia sudah berusia renta. Dari Bapak, aku belajar mencintai tanpa menuntut. Mencintai orang-orang yang membenci atau yang memandang rendah kita. Selalu tersenyum dan ikhlas menolong orang lain, itulah cara Bapak membalas penilaian jelek orang terhadapnya.
Dan dari Bapak pula, aku belajar menghargai hidup dengan cara menikmati setiap detik nafas kehidupan yang telah Tuhan berikan kepada kita. Hidup sebenarnya mengajarkan kita banyak hal, tanpa kita sadari.
Anastashia Tyas Universitas Budi Luhur / Fakultas Ilmu Komunikasi
Bisa dilihat di http://inspirasi10.com/index/?p=103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar